expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 31 Juli 2014

MAKALAH SUKU BANGSA DAN SUB SUKU MINAHASA

SUKU BANGSA MINAHASA DI DAERAH SULAWESI UTARA


A.    Asul Usul Suku Minahasa

 Suku asli di sana adalah Minahasa, lalu dari mana asalnya nenek moyang suku Minahasa? menurut cerita mitos, mitos adalah cerita suci, sakral dan tidak sembarang di ceritakan. Nenek moyang suku Minahasa adalah
Dewi Bumi dan Dewa Matahari yang akhirnya melahirkan keturunan Minahasa, cerita ini diceritakan dalam bahasa daerah dan yang mengetahui hanyalah para Walian yang memang ditunjuk oleh Opo secara turun – temurun. Biasanya cerita ini diceritakan secara umum pada saat upacara Rumages, menjadi cerita Toar Lumimu’ut. Toar Dewa Matahari yang selalu menyinari Minahasa dan Lumimu’ut Dewi Bumi yang memberikan kesuburan pada tanah Minahasa dan keturunan.
Berikut cerita singkat tentang Mitos Minahasa yang dapat saya ceritakan karena cerita lebih lengkapnya memang hanya rahasia dan cuma di ceritakan secara turun temurun. Karena jika diceritakan akan terjadi banyak pertanyaan yang akan susah dijelaskan lebih lanjut misalnya Dewi Bumi ini pada bahasa asli Astoreth dalam Alkitab. Sayapun hanya bisa menceritakan begini saja mengenai mitos.
Lalu darimana nenek moyang Minahasa pada awal mulanya? jika cerita berdasarkan fakta?.Dari pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Cina Kuno, 1997 datang meneliti di Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa merupakan turunan Raja Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau itu. Namun aneh juga seperti diketahui Dinasti Ming bukanlah orang Mongolia justru Dinasti Ming adalah yang mengganti Dinasti Yuan yang dipimpin bangsa Mongol, oleh Kubilai Khan.
Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Manado. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan Dayak, dan Korea.
Namun memang orang Minahasa sudah tidak murni dari Mongol saja, namun sudah campuran Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya aslinya Suku Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi yang terkenal dengan kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang masuk ke Indonesia hanya mendirikan 1 tempat ibadah di Indonesia silahkan lihat Sinagog di Tondano.
Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh Indonesia dibilang bangsa asing karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu. Serta sangat berbeda dengan ciri orang Indonesia pada umumnya.
Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).
Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak seorangpun yang tau. Seperti Opo Karema pernah kasih amanat “Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”



B.     Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:

1.      Babontehu
Suku Babontehu, adalah salah satu sub-suku Minahasa, yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Babontehu bermukim di daerah kepulauan sebelah barat laut Minahasa.
Suku Babontehu ini pada masa dahulu berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama Kerajaan Manado, yang berpusat di pulau Manado tua. Mereka sejak dahulu adalah bangsa pelaut, dan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Dalam kelompok mereka, sebelum mereka bergabung dengan kelompok suku Minahasa.
Pada awalnya mereka tinggal dan bermukim di pulau Manado Tua, karena mereka bermigrasi ke pulau ini. Tapi sebelum kehadiran mereka di pulau ini telah ada penduduk di pulau ini yang terlebih dahulu menghuni pulau Manado Tua ini, yaitu suku-bangsa Mangindanou, yang terkenal sebagai Bajak Laut. Tapi setelah sekian lama entah karena sebab apa, orang-orang Mangindanou ini pindah dan bermigrasi ke daerah lain, diduga ke Filipina. Pada masa itu pulau ini dikenal dengan nama “pulau Manadou”. Setelah pulau Manado ini kosong, masuklah orang Babontehu dalam kelompok kecil, dengan jumlah sekitar 30-40 kepala keluarga.  Kehadiran suku Babontehu ini rupanya diterima oleh suku Bantik yang berada di Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang), dan mereka telah menjalin hubungan baik sejak dulu. Suku Babontehu ini pernah memiliki suatu kerajaan yang bernama Kerajaan Babontehu, yang dipimpin oleh seorang Kolano (Raja).
Pada zaman itu, sekitar tahun 1570-1606, datanglah bangsa Portugis berlabuh ke pulau Manado Tua, tapi mereka tidak melakukan apa-apa, terlihat mereka hanya ingin bersahabat dengan penduduk pulau Manado Tua.. Di pulau Manado Tua ini, orang Babontehu melakukan barter hasil bumi dengan penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang).
Suku Babontehu ini sempat berperang dengan Kerajaan Bolaang Mongondow, tapi dalam pertempuran mereka mengalami kekalahan. yang membuat mereka terusir dari pulau Manado Tua, sehingga mereka pun pindah ke daerah baru dan membangun pemukiman baru di kepulauan Sangihe.
Setelah sekian lama suku Babontehu akhirnya menggabungkan diri dengan kelompok suku Minahasa, dan diakui sebagai salah satu sub-suku Minahasa. Saat ini masyarakat suku Babontehu tersebar di beberapa daerah di provinsi Sulawesi Utara.

2.      Bantik
Suku Bantik (Tou Bantik), adalah sub-suku Minahasa di Sulawesi Utara. Suku Bantik tersebar di sebelah barat daya kota Manado, yaitu di Malalayang, Kalasei dan sebelah utara Manado, yaitu di Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan dan juga terdapat di Ratahan dan wilayah Mongondouw.
Suku Bantik, termasuk keturunan Toar dan Lumimuut, tapi mereka tidak memiliki Pakasa’an, karena menurut legenda, mereka terlambat datang dalam musyawarah di Watu Pinawetengan.
Suku Bantik memiliki adat-istiadat, kebiasaan dan ciri-ciri muka dari kelompok sub-suku Minahasa. Mereka berbicara dalam bahasa Bantik, yang agak berbeda dengan bahasa Minahasa pada umumnya. Bahasa Bantik sendiri lebih mirip dengan bahasa-bahasa dari Sulawesi Tengah.
Salah satu budaya tari suku Bantik yang terkenal adalah Tari Mahamba, adalah suatu tarian yang indah yang diperagakan apabila ada acara-acara tertentu pada masyarakat suku Bantik. Selain itu mereka juga memiliki Tari Perang dan lain-lain.
Masyarakat suku Bantik mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, seperti suku-suku Minahasa lainnya yang pada umumnya memeluk agama Kristen. Agama Kristen diperkenalkan ke dalam kalangan orang Bantik oleh para misionaris Belanda, sejak awal kedatangan orang Belanda di wilayah ini.
Menurut cerita bahwa suku Bantik ini pada awalnya berasal dari wilayah Sulawesi Tengah, yang bermigrasi pertamakali di wilayah Bolaang Mongondow. Kemudian mereka ikut dengan pasukan Bolaang Mongondow untuk memerangi suku-suku Minahasa. Tapi ketika pasukan Bolaang Mongondow dikalahkan oleh pasukan Minahasa di Maadon, Lilang (Kema), mereka tetap tinggal di sekitar teluk Manado, dan tidak mau kembali ke wilayah Bolaang Mongondow.
Karena mereka bekas pasukan Bolaang Mongondow, mereka diharuskan membayar upeti kepada Raja Boloaang Mongondow. Tapi hal itu membuat mereka diejek oleh orang-orang Minahasa, sebagai budak-budak Bolmong.
 Menurut legenda Tou Bantik, bahwa dulunya mereka berasal dari Sulawesi Utara, tapi mereka bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau Panimbulrang. Di sana mereka hidup pada beberapa kampung, hidup tentram dan memiliki penduduk yang besar. Di pulau Panimbulrang inilah mereka disebut “Orang Bantik”. Di sana mereka hidup lama disertai dengan perkembangan-perkembangan kebudayaannya. Letak pulau Panimblurang tersebut saat ini tidak diketahui dengan pasti. Menurut cerita orang tua-tua, lokasi pulau “Panimbulrang” berada di sebelah utara, antara kepulauan Talaud dan Philipina. Tapi karena terjadi suatu bencana alam, pulau Panimbulrang diterjang air bah, sehingga seluruh perkampungan mereka tenggelam dan mereka pun menyeberang kembali ke Sulawesi Utara.
Saat ini suku Bantik, telah menjadi salah satu dari kelompok Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan adat-istiadat berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat Minahasa, tapi mereka berasal dari satu keturunan, yaitu dari keturunan Toar dan Lumimuut, sehingga mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.

3.Pasan Ratahan (Tounpakewa)
Suku Pasan (Tousuraya), adalah termasuk sub-suku Minahasa yang terdapat di Sulawesi Utara. Suku Pasan tersebar di kecamatan Pasan, di Towuntu Timur, kampung Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei. Populasi suku Pasan diperkirakan lebih dari 15.000 orang pada sensus tahun 1989.
Suku Pasan, telah lama hidup berdampingan dengan suku Ratahan di suatu wilayah, sehingga di antara kedua suku ini agak susah dibedakan, lagipula kedua suku ini menggunakan bahasa dan adat-istiadat yang sama. Suku Pasan dahulu bernama suku Tousuraya. Suku ini berasal dari Pakasa'an Touwuntu, yang terdiri dari 2 walak, yaitu Tousuraya (sekarang menjadi suku Pahan) dan Toulumalak (sekarang menjadi suku Ratahan).
Menurut cerita sejarah Minahasa, pada masa lalu Raja Babontehu, menaklukkan daerah Teluk Tomini. Lalu sang Raja itu mengawini seorang Putri Raja dari teluk Tomini dan menetap di tempat itu. Setelah sekian lama keturunan mereka semakin banyak. Pada suatu saat sang Raja tersebut dikalahkan oleh Raja Loloda Bolaang Mongondow. Lalu sang Raja membawa membawa keturunan-keturunannya beserta pengikutnya ke daerah Minahasa (diperkirakan di Manado). Seluruh keturunan dan pengikutnya yang berasal dari Teluk Tomini banyak yang melakukan kawin-campur orang Minahasa. Setelah beberapa lama, mereka melanjutkan perjalanan menuju daerah yang lebih aman di sebelah Timur (Tenggara) Minahasa dan keturunan-keturunannya inilah yang disebut sebagai Suku Pasan.
Menurut versi lain sejarah Minahasa, disebutkan kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Mereka mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka ini lah yang disebut suku Ratahan. Sedangkan yang menuju ke Towuntu (Liwutung), disebut suku Tou Pasan. Sekelompok orang Tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak), dan mereka disebut sebagai suku Tou Ponosakan.
Seperti suku Ratahan, masyarakat suku Pasan juga kebanyakan hidup pada bidang pertanian. Pada tanaman padi, jagung, cengkeh, kopra dan lain-lain. Berbagai bidang profesi juga mereka jalani, seperti pedagang, pegawai, guru dan sebagainya.

4. Ponosakan
Suku Ponosakan, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Ponosakan mendiami kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok, tersebar di beberapa kampung, yaitu di kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung Watuliney dan Tababo. Populasi suku Ponosakan ini diperkirakan lebih dari 5000 orang.
Suku Ponosakan merupakan satu-satunya suku dari kelompok Minahasa, yang masyarakatnya banyak memeluk agama Islam. Pengaruh agama Islam ini mereka dapat dari orang-orang Mongondow. Karena orang Ponosakan pernah terlibat hubungan baik dengan orang-orang Mongondow di masa lalu.
Orang Ponosakan berbicara dalam bahasa Ponosakan. Bahasa Ponosakan adalah salah satu dialek bahasa Minahasa. Tetapi bahasa Ponosakan ini memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Mongondow. Menurut orang Mongondow bahasa Ponosakan ini adalah salah satu dialek dari bahasa Mongondow. Walau demikian, walau bahasa orang Ponosakan mirip dengan bahasa Mongondow, tapi mereka tetap mengaku bahwa mereka adalah orang Minahasa.
Saat ini generasi muda orang Ponosakan, banyak yang sudah hampir tidak mengetahui lagi bahasa Ponosakan, karena para generasi muda Ponosakan banyak yang beralih menggunakan bahasa Manado Pasar (Melayu Manado). Dari 5000 orang populasi suku Ponosakan ini, diperkirakan yang berbicara dalam bahasa Ponosakan hanya sebesar 2000 orang saja. Hal ini membuat bahasa Ponosakan bisa terancam punah, akibat dominasi bahasa-bahasa lain yang lebih kuat pengaruhnya di daerah-daerah orang Ponosakan.

5.Tonsea

Suku Tonsea, adalah salah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di provinsi Sulawesi Utara. Daerah pemukiman suku Tonsea ini berada di kabupaten Minahasa Utara meliputi daerah semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Populasi suku Tonsea diperkirakan lebih dari 90.000 orang pada sensus tahun 1989.

Suku Tonsea berasal dari pakasa'an Tountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa. Orang Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea. Bahasa Tonsea merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa.

Bahasa Tonsea sendiri memiliki beberapa dialek, yaitu: 
·                      dialek Maumbi
·                      dialek Airmadidi
·                      dialek Likupang
·                      dialek Kauditan
·                      dialek Klabat
·                      dialek Bitung

Dialek-dialek di atas, tidaklah terlalu berbeda jauh, karena setiap pemakai dialek yang berbeda wilayah bisa saling berkomunikasi dengan baik menggunakan dialeknya masing-masing, apabila bertemu.
Pada masa sekarang ini, bahasa Tonsea sendiri mengalami penurunan dalam jumlah penuturnya, akibat dominasi dari bahasa Melayu Manado yang cenderung semakin dipakai oleh golongan generasi muda suku Tonsea.
Pada abad 17, suku Tonsea dipimpin oleh seorang yang bernama Xaverius Dotulong, sebagai pemimpin dari suku Tonsea yang berkedudukan di Kema. Saat berkorespondensi dengan Gubernur Ternate Robertus Padtbrugge, Xaverius Dotulong menggunakan bahasa Melayu yang ternyata sudah banyak digunakan oleh pedagang-pedagang yang berdagang di wilayah kepulauan Maluku. Xaverius Dotulong adalah anak dari Runtukahu Lumanauw yang tinggal di Kema dan merintis pembangunan pertama kali di wilayah adat suku Tonsea.

Mayoritas suku Tonsea adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen tumbuh dengan kuat dalam kehidupan masyarakat suku Tonsea, terlihat dari banyaknya bangunan gereja yang berdiri di setiap pemukiman masyarakat suku Tonsea. Mereka sering mengadakan kegiatan di gereja. Kegiatan gereja adalah sangat penting bagi kehidupan mereka.
Masyarakat suku Tonsea, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam beberapa jenis sayuran, termasuk jagung, beberapa jenis buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam tanaman keras seperti cengkeh. Pada bidang profesi lain, orang Tonsea berprofesi sebagai pedagang, guru, pegawai negeri dan di sektor-sektor swasta. Saat ini banyak orang Tonsea yang merantau ke daerah lain, seperti Manado, Makasar atau ke pulau-pulau lain, seperti Papua, Maluku, Sumatra, Jawa dan Kalimantan.

6. Tontemboan
Suku Tountemboan (Tontemboan), merupakan sub-suku Minahasa, yang berdiam di kabupaten Minahasa bagian selatan di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Tountemboan diperkirakan sekitar 150.000 orang.
Suku Tountemboan, berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang dan daerah di sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang.

Suku ini berasal dari pakasa'an Tompakewa yang terdiri dari 6 walak:
·                      Tompaso
·                      Langowan
·                      Tombasian
·                      Rumoong
·                      Tongkimbut atas (Kawangkoan)
·                      Tongkimbut bawah (Sonder).


Orang Tountemboan berbicara menggunakan bahasa Tountemboan. Bahasa Tountemboan merupakan salah satu dialek dari bahasa Minahasa.

Bahasa Tountemboan memiliki 2 dialek, yaitu:
·                      dialek Matana’i (Sonder dan sekitarnya)
·                     dialek Makela’i meliputi kecamatan Langowan, Tompaso’ dan sebagian Tompaso’ Baru.
Mitos leluhur orang Tountemboan, bahwa mereka juga berasal dari keturunan Lumimu-ut, tapi dengan versi yang sedikit berbeda. Menurut bentuk mitos ini, pada awalnya hanya ada lautan dan batu besar yang disapu oleh gelombang, dan setelah itu seekor bangau berkeringat, dari keringatnya menghasilkan seorang dewa perempuan yang disebut Lumimu-ut (Loeang-Sermata).
Dinasehati oleh bangau itu akan keberadaan “negeri asali”, kemudian dia mengambil dua genggam tanah yang ia sebarkan di atas batu, dan maka ia menciptakan dunia, dimana ia menanam benih semua tanaman dan pohon, agar mirip dengan “negeri asali”. 
Setelah menciptakan bumi, Lumimu-ut naik ke gunung, lalu angin barat bertiup dan membuatnya hamil. Seiring waktu ia melahirkan seorang anak laki-laki, dan saat ia telah tumbuh menjadi dewasa, sang ibu menyuruhnya mencari seorang istri, namun sejauh ia mencari, ia tidak menemukan satupun. Maka Lumimu-ut memberinya tongkat yang panjangnya sama dengan tinggi badannya, memintanya mencari seorang perempuan yang harus lebih pendek dari tinggi tongkat ini, dan bila ia menemukan perempuan demikian, maka ia ditakdirkan untuk menikahinya.
Ibu dan anak ini kemudian berpisah, satu pergi ke kanan dan satu ke kiri, dan mereka keliling dunia, hingga akhirnya bertemu kembali, tanpa saling kenal, dan saat sang anak mencocokkan tinggi badan ibunya dengan tongkat, tinggi badan ibunya ternyata lebih pendek dari tongkat, karena tanpa sepengetahuannya, tongkat itu bertambah panjang. Karena itu, maka ia pun menikahi sang ibu, dan mereka melahirkan banyak anak, yang keturunannya menjadi leluhur orang-orang Tountemboan.

.
7. Toulour
Suku Toulour disebut juga sebagai orang Tondano, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Toulour ini diperkirakan lebih dari ... orang.
Suku Toulour, mendiami daerah sekeliling danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano Pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan Toulour terbagi atas dua walak yaitu Tondano Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat.
Penduduk Minahasa sekitar kota Tondano, menyebut diri mereka sebagai "orang Toulour", atau "orang Tondano / orang Tou nDano”. Orang Toulour berbicara dalam bahasa Toulour, yang disebut juga sebagai bahasa Tondano. 
Asal-usul orang Tondano, menurut cerita, dahulu serombongan pendatang, orang-orang Tifore, yang datang dari pesisir Timur (Atep). Orang-orang Tifore ini melakukan kawin campur dengan orang Toumbulu, dan menetap di daerah bagian barat danau (yang sekarang disebut danau Tondano). Dari keturunan inilah yang menurunkan orang-orang Tondano. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar danau Tondano.
Istilah "Tondano" diduga berasal dari bahasa Tountemboan, yaitu "Touw un Dano", yang berarti "orang danau". Sedangkan istilah "Toulour" berasal dari bahasa Tonsea dan Tombulu, yaitu "Tou Lour", yang berarti "orang air".
Daerah pemukiman suku Toulour ini berada di dua daerah utama, yaitu Touliang (sebelah timur sungai) dan Toulimambot (sebelah barat sungai). Pada zaman kolonial Belanda, daerah ini oleh Belanda dinamakan distric Toulour dengan kotanya adalah Tondano. Oleh karena itu penduduk di daerah ini menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, tapi juga sebagai orang Tondano.
Sebenarnya ada satu etnis lain yang menggunakan nama mirip, salah satu etnis Minahasa yang menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Yang menarik dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di daerah Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Satu hal lain yang juga menarik adalah orang Toundanouw ini juga berasal dari keturunan orang Tifore. Mereka menetap di daerah Atep yang hijrah ke pedalaman.
Menurut Dr. J.G.F. Riedel, dalam bukunya (De Minahasa in 1825), tertulis bahwa pendatang-pendatang dari Tifore menetap di pesisir Timur (Atep), merambah ke pedalaman dalam 2 kelompok, yaitu:
·                     Kelompok ke-1, menuju Utara, masuk ke wilayah orang Tonsea dan mendirikan pemukiman yang disebut Lumijang. Kelompok inilah yang menetap di sekitar danau, kemudian dinamakan Tou nDano, atau Tou Lour (dalam bahasa Tonsea/ Tombulu). Mereka lah yang menjadi orang Tondano atau orang Toulour.
·                     Kelompok ke-2, menuju ke Selatan dan membuat pemukiman Awouw, Topiriwan dan Watu. Mereka menyebut diri mereka sebagai orang Toundanouw. Dari keturunan mereka terbagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu, yang disebut Tou Watu atau Tombatu, dan satu lagi diduga adalah Tonsawang.

Ada suatu versi yang sedikit berbeda tentang orang Toulour, menurut cerita beberapa Tetua Minahasa, dikatakan bahwa sejak kehadiran orang Minahasa di sekitar danau Tondano, mereka menamakan diri mereka sebagai orang Tondano. Kemudian mereka terbagi menjadi 3 walak, yaitu Kakas, Romboken dan Toulour. Dari sini lah, terlihat maka orang Toulour, selain menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, mereka juga mengaku sebagai orang Tondano. Karena mereka adalah pecahan langsung salah satu dari 3 walak Tondano.
Dalam budaya orang Toulour, mereka memiliki suatu tradisi beladiri yang tetap terpelihara, yaitu beladiri khas walak Tolour biasa dikenal dengan nama ilmu beladiri Sakalele soma'tanu rano wo reghes (silat sakti air dan angin). Sakalele ini memiliki 36 jurus, yang sangat hebat. Ilmu beladiri Sakalele memiliki jurus-jurus dicipta berdasar pergerakan  alam, air dan angin di danau Tondano.
Orang Toulour, pada umumnya hidup sebagai petani. Beberapa orang bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di danau Tondano. Sedangkan pada bidang profesi lain, mereka bekerja sebagai pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.

8. Tonsawang
Suku Tonsawang (Tounsawang), merupakan salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tonsawang, bermukim di kecamatan Tombatu dan Touluaan. Populasi suku Tonsawang diperkirakan lebih dari 20.000 orang pada sensus tahun 1981.
Suku Tonsawang ini berasal dari Pakasa'an Toundanouw, menurut sejarah, dikatakan bahwa dahulu di daerah pantai Amurang terdapat sebuah danau, dan arah tenggara danau terdapat sebuah daerah perbukitan bernama Batu, di tempat itu berdiam sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai orang “Toundanouw”, yang berarti "orang dari air". Orang Toundanouw ini terbagi menjadi 2 kelompok, salah satunya adalah yang sekarang disebut sebagai orang Tonsawang., sedangkan kelompok satu lagi disebut orang Tombatu.
Menurut cerita lain, nenek moyang orang Tonsawang, dikatakan berasal dari pulau kecil Mayu dan Tafure (Tifore atau Tidore) di selat Maluku yang mendarat di Atep, kemudian melanjutkan perjalanan ke Tompaso, dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju ke tempat mereka sekarang ini.
Walaupun mereka menyebut diri mereka sebagai orang Tonsawang, tapi kadang-kadang mereka menyebut diri mereka juga sebagai orang Toundanouw. Karena dilihat dari asal-usul, bahwa orang Tonsawang bersama orang Tombatu, adalah berasal dari keturunan orang Toundanouw.
Di wilayah pemukiman suku Tonsawang, terdapat peninggalan sejarah yang dikenal dengan nama Lesung Nawo Oki yang telah berumur ratusan tahun. Penemuan ini menunjukkan bahwa di wilayah hunian suku Tonsawang ini sejak dahulu telah dihuni manusia, yaitu dengan adanya Lesung Nawo Oki ini. Lesung Batu Nawo Oki ini berkaitan erat dengan legenda Raja Nawo Oki, yaitu nama pemimpin orang Tonsawang pada masa lalu, sekitar abad 17.
Masyarakat suku Tonsawang, mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen berkembang dengan pesat di daerah ini sejak masuknya bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda ke daerah ini sekitar akhir abad 17.
Suku Tonsawang pada umumnya hidup sebagai petani. Menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi dan jagung serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam tanaman keras seperti cengkeh, kopra dan lain-lain.

9. Tombulu
Suku Tombulu (Toumbulu), adalah salah satu suku tua di tanah Malesung (Proto Minahasa/ Minahasa Tua), yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tombulu, terkonsentrasi di Tomohon yang mendiami daerah kota Tomohon, kecamatan Tombariri, kecamatan Pineleng, kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, Likupang Barat dan ibukota Sulawesi Utara kota Manado. Populasi suku Tombulu diperkirakan lebih dari 60.000 orang pada sensus 1981.
Suku Tombulu, memiliki 8 walak (klan), yaitu:
·         Tomohon (Tou Muung)
·         Sarongsong
·         Tombariri
·         Kakaskasen
·         Ares
·         Maumbi (Kalawat Atas)
·         Kalawat Wawa (Klabat Bawah) di Paniki
·         Likupang.

Saat ini terdapat suatu Organisasi Adat Pakasaan Tombulu yang aktif melestarikan dan mengembangkan budaya suku Tombulu, yang dipimpin oleh mantan Wakil Walikota Tomohon Syennie-Smits Watoelangkow. Organisasi masyarakat ini telah membangun suatu amfiteater dengan pemandangan indah ke gunung Lokon yang masih aktif dan gunung Empung. Di tempat-tempat ini lah dahulu suku Tombulu menganggap pemukiman dewa-dewa mereka. Di sekitar amfiteater terdapat banyak mata air yang konon kabarnya bisa menyembuhkan penyakit dan membuat lebih pintar.
Di kompleks Organisasi Pakasaan Tombulu yang bernama Rano Walanda, terdapat banyak Waruga. Waruga adalah batu yang berlubang, yang pada masa dahulu digunakan sebagai tempat meletakkan mayat orang di dalam dan menutupinya dengan batu berukir besar. Lokasi amfiteater Rano Walanda terdapat di desa Woloan I di kota Tomohon.
Asal-usul suku Tombulu, menurut cerita rakyat (legenda/ mitos) seperti yang ditulis Pdt.M.Ph. Wilken dan Graflaand, yang tersimpan secara turun temurun dalam masyarakat suku Tombulu, adalah nenek moyang pertama di Minahasa adalah Opo Toar dan Lumimuut. Menurut ceritanya mereka hanyut terbawa arus dari arah utara, lalu terdampar di pantai barat Minahasa, di batu karang yang dinamai Batu Kapal yang terletak di daerah Sapa (kecamatan Tenga kabupaten Minahasa Selatan sekarang). Mereka hanyut terbawa arus air bah. Dalam tulisan Dr. Riedels Zano Simezuk Wangko, air bah merendam seluruh dataran sampai ke puncak gunung Lokon, Gunung Mahwu, dan gunung Soputan.
Opo Toar dan Lumimuut, berdiam di sekitar gunung Wulur Mahatus. Kemudian pindah ke sekitar Niutakan dekat Tompasu Baru. Di Tempat baru ini Opo Toar kawin dengan Lumimuut. Setelah sekian lama ternyata jumlah mereka bertambah banyak dan memenuhi daerah itu, sehingga mereka mulai menyebar ke seluruh Malesun (Minahasa). Awalnya terdapat 25 kepala keluarga yang menyebar, salah satunya antara lain keluarga Pinontoan dan istrinya Ambilingan dengan 6 orang anaknya. Mereka datang ke dataran gunung Lokon. Keturunan dari keluarga inilah yang diyakini menurunkan "suku Tombulu".
Suatu tulisan di Facebook, yang diposting oleh Kennedy Polakitan, menceritakan penyebaran suku Tombulu berdasarkan sejarah Minahasa. Pada awal penyebaran suku Tombulu sekitar abad 10, suku Tombulu di Wanua Meijesu diperintah oleh Lumoindong putra dari Walian Pukul, ditimpa wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Oleh karena itu suku Tombulu terpencar dan keluar mencari pemukiman baru. Tempat-tempat yang dituju sebagai pemukiman baru dan terbentuknya beberapa walak pada suku Tombulu, adalah:
Tonaas Tumbelwoto, memimpin sebagian orang Tombulu pergi tumani ke Wanua Tula’u hingga terbentuklah walak Saronsong,
Sebagian rakyat berpindah ke Kinilow Tu’a. Tonaas Ka’awoan meninggalkan Kinilow Tu’a memimpin sebagian orang Tombulu pergi kearah barat ke suatu tempat yang terdapat rumput yang dinamai Wariri, sebagian orang yang menetap di sana disebut Touwariri, lalu sebutannya menjadi orang Tombariri.
Selanjutnya dari sana sebagian rakyat yang dipimpin oleh Walian Lokon Mangundap, Kalele, Apor, Karundeng, Kapalaan, dan Posumah,  mendirikan negeri baru yang dinamai Katinggolan yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya Wanua Woloan.
Tonaas Mokoagow juga meninggalkan Kinilow Tu’a dan pergi tumani ke Wanua Mu’ung dan Kamasi membentuk Tou Mu’ung (Tomohon).
Tonaas Ticonumu dan Tuerah pergi tumani ke Wanua Kakaskasen dan membentuk Walak Kakaskasen,
Tonaas Lolong lasut dan Ruru pergi tumani ke Wanua Wenang dan Ares membentuk Walak Ares (di kota Manado sekarang).
Dari Kinilow Tu’a beberapa taranak pergi tumani ke Wanua kali dari sana Tonaas Alow pergi melintasi sungai wenang utara, lalu tumani ke Wanua Kalawat atas dan membentuk Kalawat atas yang kemudian berubah menjadi Kalawat Maumbi.
Dari Kalawat Atas keluar Tonaas Kondoy, Wangko Saumanan pergi ke barat tumani ke Wanua Kalawat Kalewosan yang kemudian menjadi Wanua ure, kini disebut Komo Luar. Kalawat Kalewosan ini kemudian menjadi Kalawat Wawa, ibu negeri Wanua ure.
Tonaas Kalengkongan beserta sebagian rakyat meninggalkan Kalawat Atas dan Kalawat Wawa, pergi tumani ke Wanua Likupang. Menimbulkan Walak Likupang.
Jadi suku Tombulu telah pecah menjadi beberapa walak. Tetapi pada abad 15, Tonaas Dotulong, Tidajoh Koagow dari Pakasaan Tonsea telah merampas Wilayah Dimembe, suatu wilayah yang sangat luas sekali.

Orang Tombulu dalam keseharian di dalam lingkungan sesama orang Tombulu, menggunakan bahasa Tombulu. Bahasa Tombulu ini merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa. Bahasa Tombulu lumayan terkenal, karena beberapa lagu daerah yang populer kebanyakan berasal dari bahasa Tombulu, seperti lagu "O Ina Ni Keke".

Dalam hal kepercayaan, seperti sub-suku Minahasa lain pada umumnya memeluk agama Kristen, begitu pula suku Tombulu ini adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen telah lama berkembang dalam lingkungan masyarakat suku Tombulu, Diperkirakan mereka memeluk agama Kristen sejak kehadiran bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda ke tanah Minahasa ini.
Masyarakat suku Tombulu pada dasarnya hidup sebagai petani. Mereka menanam padi di sawah dan ladang. Selain padi mereka juga menanam beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Juga beberapa tanaman keras seperti cengkeh dan kopra.





DAFTAR PUSTAKA

http://id.m.wikipedia.org/wiki/minahasa?wasRedirected=true
http://id.voi.co.id/fitur/voi-pesona-indonesia/3812-tari-kabasaran--simbol-keberanian-
suku-minahasa.html
http://members6.boardhost.com/thinktanksulut/msg/1165897255.html
http://tonsea.blogspot.com/2006/06/asal-usul-suku-minahasa.html
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4919605
http://wisatamelayu.com
http://www.theminahasa.net
http://pesonamdo.wordpress.com
http://www.persit-kckviiwrb.org
http://www.scribd.com/doc/34171303/Kebudayaan-Minahasa-Budaya-Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Waruga
http://dutacipta.wordpress.com/artikel-lain/suku-minahasa/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Minahasa
http://www.scribd.com/re_kim/d/22740881-KEBUDAYAAN-MINAHASA
http://budayanusantara.blogsome.com/2010/12/24/beberapa-upacara-adat-suku-minahasa/
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://publicnature.blogspot.com/2009/04/perbedaan-antar-budaya.html
http://kerukunankawanua.edublogs.org/6-pulang-kampung/
http://sains.kompas.com/read/2008/07/08/01065760/Atraksi.Budaya.Minahasa.Tingkatkan.Kunjungan.Wisatawan
http://liwutung.do.am/blog/2009-05-03-1
http://theoelin.multiply.com/journal/item/40/TARI_PERANG_KABASARAN_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

http://siradel.blogspot.com/2011/04/manguni-burung-ajaib-yang-dianggap-suci.html

Tidak ada komentar :