ASKEP STEMI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nyalah sehingga
kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Pengantar Kesehatan Komunitas
& Keperawatan Komunitas ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah
ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan dosen mata kuliah Keperawatan Kekritisan.
Pada kesempatan ini juga
kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari semua pihak yang telah
memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan makalah ini baik itu
secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari isi
makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik dari segi kalimat, isi
maupun dalam penyusunan. oleh karen itu, kritik dan saran yang membangun dari
dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.
Tomohon, Juli 2014
Penyusun,
KELOMPOK 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN PENULISAN
MANFAAT PENULISAN
BAB 2 TINJAUAN
PUSTAKA
DEFINISI
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
MANIFESTASI KLINIK
BAB 3 ASUHAN
KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
DIAGNOSA
INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung merupakan salah satu
penyebab kematian yang utama. Banyak pasien yang mangalami kematian akibat
penyakit jantung. Penanganan yang salah dan kurang cepat serta cermat adalah
salah satu penyebab kematian.
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama bagi
laki-laki dan perempuan di USA. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang
menderita infark miokard setiap tahunnya
dan lebih dari 600 orang meninggal akibat penyakit ini.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang
rendah membuat mereka salah untuk pengambilan keputusan penangan utama.
Sehingga menyebabkan keterlambatan untuk ditangani. Hal ini yang sering
menyebabkan kematian.
Berbagai penelitian standar terapi
trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk infark miokard akut
(IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun
stabilisasi koroner setelah iskemia.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa definisi dari STEMI.
1.2.2 Apa etiologi dari STEMI.
1.2.3 Apa manifestasi klinis dari STEMI.
1.2.4 Apa penatalaksanaan dari STEMI.
1.2.5 Bagaimana pathofisiologi dari STEMI.
1.2.6 BagaimanaWeb of Cause dari STEMI.
1.2.7 Bagaimana Askep pada STEMI.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis
dari STEMI.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari
STEMI.
1.3.5 Untuk mengetahui pathofisiologi dari
STEMI.
1.3.6 Untuk mengetahui Web of Cause dari
STEMI.
1.3.7 Untuk mengetahui Askep dari STEMI.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan
mahasiswa mampu memahami dan membuat asuhan keperawatan pada anak dengan
gangguan system pernafasan dengan penyakit asma, serta mampu
mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah
satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal 30%
dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit.
Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1
diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun
pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation
myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner
akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST,
dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
2.2 Etiologi
STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi
dan akumulasi lipid.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat
tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi
jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika
kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai
vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya
menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya
pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti
faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul
multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi
mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik.
2.4 Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada
perlu dilakukan anamnesa secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung
atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung
dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis
pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko
antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut
perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak.
Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan
konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala
cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien
IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan,
rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan
diplintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat
juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan juga ke
lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas
dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara
lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan
gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI
tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa
istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin.
Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat
adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain
pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu
sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan
berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST
≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil
pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama
Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan
pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI.
Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan keputusan terapi
karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal
tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan
EKG 12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi
kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal
elevasi segmen ST mengalami evlolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi
segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau
non STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural
digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan
infark miokard miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi
gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga
terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat
implementasi terapi repefusi.
Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin
Kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan
secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI
yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker. Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari.
Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker
jantung pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th
percentile kelompok control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear
yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama
3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini
mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian randomized
clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus dari para ahli sesuai
pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis
cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa
pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang
ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
Tatalaksana Awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung
adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan
komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi
dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada
penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun
karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta
pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat
oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya
bisa dikerjakan jika ada paramedic di ambulans yang sudah terlatih untuk
menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online
yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian
trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada
pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit.
Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit
bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total
adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien
memennuhi syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan
pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle
time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan
pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time
harus dalam waktu 90 menit.
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang
tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi
pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga diberikan
untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark
inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus
dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil
dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis
2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena
dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang
akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat
diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan
cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang
menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien
dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi
aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24
detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan
dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek
lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat disfungsi dan dilatasi
ventrikel dan mengurangi kemungkinan
pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang
maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam
30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
2.7
Prognosis
Kelangsungan hidup
kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah serangan jantung hampir
tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan kepatuhan
hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien
yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi
jangka panjang dengan obat-obatan seperti:
ASPIRIN®
clopidrogel
statin (cholesterol lowering) drugs
beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi
otot jantung)
ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa
sakit dada yang khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika
penampilan karakteristik EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung
mengakibatkan kerusakan otot jantung, sehingga cara terbaik untuk menangani
serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
2 (2,2)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Data Demografi/ identitas
Nama
: Tn. H
Umur
: 53 Tahun
Alamat: Perak 73 Surabaya
b. Keluhan Utama
Rasa tertimpa beban berat pada dada kiri.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. H datang ke RS dengan keluhan nyeri dada juga dirasakan sangat nyeri
seperti rasa terbakar dan ditindih benda berat. Keluhan dirasakan menjalar ke
lengan kiri tetapi keluhan agak berkurang jika OS istirahat.
paru Vesikuler +/+, jantung : Bunyi SI-S2
reguler, cardiomegali (-), bising sistolik (-), dari pemeriksaan penunjang EKG
didapatkan ST elevasi : V1 – V5 , ST depresed : II, III, AVF, V6
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu memiliki penyakit riwayat penyakit
hipertensi.
Keadaan Umum
Suhu : 36,5ºC
Nadi : 88x/menit
Tekanan Darah: 120/80 mmHg
RR : 30x/menit
Breathing
Gejala : napas pendek
Pemeriksaan fisik :
Tanda : dispnea, inspirasi mengi, takipnea,
pernapasan dangkal.
Blood
Gejala : penyakit jantung congenital
Tanda : takikardia, disritmia, edema.
Brain
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang
sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi
Tanda : Gelisah
Gejala: kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah,
dispnea dengan aktivitas
Terapi
Terapi yang diberikan untuk pasien ini berupa
O2 3 – 4 liter/menit, posisi ½ duduk, diit jantung I, infus D 5% Lini 16
tetes/menit, Captopril 3 x 6.25 mg (ACE inhibitor), Aspilet 2 x 80 mg (anti
platelet), ranitidin 2 x 150 mg (antagonis reseptor H2), Inj, ISDN diberikan
secara sub lingual bila dada terasa nyeri (Vasodilator).
3.2 Analisa Data
3.2 Analisa Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah
Keperawatan
|
DS:
Klien mengeluh nyeri pada bagian anterior, diperberat oleh inspirasi, gerakan
menelan.
DO:
Gelisah, pucat
|
Vaskularisasi
terganggu
i
Aliran
darah ke arteri koronari terganggu
i
Iskemia
i
As
Laktat
i
Nyeri
akut
|
Nyeri
akut
|
DS:
Disritmia
DO:
riwayat penyakit jantung konginetal
|
Kontraktilitas
jantung menurun
i
Gagal
jantung
i
Penurunan
CO
|
Penurunan
Cardiac Output
|
DS:
Pasien mengeluh lemah karena hipoksia
DO:
Pasien terlihat lemah dan pucat karena O2 jaringan menurun.
|
Rupture
dalam pembuluh darah
i
Obstruksi
pembuluh darah
i
Aliran
darah ke jaringan terganggu
i
Perubahan
perfusi jaringan
|
Perubahan
perfusi jaringan
|
DS:
Klien mengeluh sesak, nafas pendek.
DO:
dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal.
|
Perubahan
perfusi jaringan
O2
dalam darah menurun
i
Kongesti
pulmonalis
i
Sesak
nafas
i
Ketidakefektifan
pola nafas
|
Pola
nafas tidak efektif
|
DS:
Pasien mengeluh lemah
DO:Pasien
terlihat lemah karena hipoksia
|
Perubahan
perfusi jarigan
i
O2
dalam darah menurun
i
Hipoksia
i
Kelemahan
i
Intoleransi
aktivitas
|
Intoleransi
aktivitas
|
3.3Diagnosa dan Intervensi
1.
Nyeri akut berhubungan
dengan iskemia jaringan miokardium.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi
metode yang dapat menghilangkan nyeri,melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :
Intervensi
|
Rasional
|
Kolaboratif
Berikan obat-obatan
sesuai indikasi:
1.
Agen non steroid,
mis: indometasin(indocin);, ASA(aspirin)
2.
Antipiretik mis: ASA/asetaminofen
(tylenol)
3.
Steroid
4.
Oksigen 3-4
liter/menit
|
1.
Dapat menghilangkan
nyeri, menurunkan respon inflamasi.
2.
Untuk menurunkan
demam dan meningkatkan kenyamanan.
3.
Diberikan untuk
gejala yang lebih berat.
4.
Memaksimalkan
ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung dan menurunkan
ketidaknyamanan karena iskemia.
|
Mandiri
1.
Selidiki keluhan
nyeri dada, memperhatikan awitan, faktor pemberat atau penurun
|
1.
Mengetahui lokasi
dan derajat nyeri. Pada iskemia miokardium nyeri dapat memburuk dengan
inspirasi dalam, gerakan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak atau
membungkuk.
2.
Memberikan
lingkungan yang tenang dan tidakan kenyamanan. Mislanya merubah posisi,
menggunakan kompres hangat, dan menggosok punggung
1.
Tindakan ini dapat
meningkatkan kenyamanan fisik dan emosional pasien.
|
2. Resiko terhadap
penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan konstriksi fungsi
ventrikel, degenerasi otot jantung.
Kriteria hasil:
Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi perilaku
untuk menurunkan beban kerja jantung.
Intervensi :
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Pantau irama dan
frekuensi jantung
1.
Auskultasi bunyi
jantung. Perhatikan jarak / tonus jantung, murmur, gallop S3 dan S4.
1.
Dorong tirah baring
dalam posisi semi fowler
2.
Berikan tindakan
kenyamanan misalnya perubahan posisi dan gosokan punggung, dan aktivitas
hiburan dalam toleransi jantung
3.
Dorong penggunaan
teknik menejemen stress misalnya latihan pernapasan dan bimbingan imajinasi
4.
Evaluasi keluhan
lelah, dispnea, palpitasi, nyeri dada kontinyu. Perhatikan adanya bunyi napas
adventisius, demam
|
1.
Takikardia dan
disritmia dapat terjadi saat jantung berupaya untuk meningkatkan curahnya
berespon terhadap demam. Hipoksia, dan asidosis karena iskemia.
2.
Memberikan deteksi
dini dari terjadinya komplikasi misalnya GJK, tamponade jantung.
3.
Menurunkan beban
kerja jantung, memaksimalkan curah jantung
4.
Meningkatkan
relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian
1.
Perilaku ini dapat
mengontrol ansietas, meningkatkan relaksasi dan menurunkan kerja jantung
1.
Manifestasi klinis
dari GJK yang dapat menyertai endokarditis atau miokarditis
|
Kolaboratif
1.
Berikan oksigen
komplemen
1.
Berikan obat –
obatan sesuai dengan indikasi misalnya digitalis, diuretik
1.
Antibiotic/ anti
microbial IV
1.
Bantu dalam
periokardiosintesis darurat
1.
Siapkan pasien untuk
pembedahan bila diindikasikan
|
1.
Meningkatkan
keseterdian oksigen untuk fungsi miokard dan menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat dari hipoksia dan asidosis.
2.
Dapat diberikan
untuk meningkatkan kontraktilitas miokard dan menurunkan beban kerja jantung
pada adanya GJK ( miocarditis)
3.
Diberikan untuk
mengatasi pathogen yang teridentifikasi, mencegah kerusakan jantung lebih
lanjut.
4.
prosedur dapat
dilakuan di tempat tidur untuk menurunkan tekanan cairan di sekitar jantung.
5.
Penggantian katup
mungkin diperlukan untuk memperbaiki curah jantung
|
3. Resiko tinggi
terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke otot.
Kriteria hasil:
mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara
individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering,
nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Evaluasi status
mental. Perhatikikan terjadinya hemiparalisis, afasia, kejang, muntah,
peningkatan TD.
2.
Selidiki nyeri dada,
dispnea tiba-tiba yang disertai dengan takipnea, nyeri pleuritik, sianosis,
pucat
1.
Tingkatkan tirah
baring dengan tepat
1.
Dorong latihan
aktif/ bantu dengan rentang gerak sesuai toleransi.
|
1. Indicator
yang menunjukkan embolisasi sistemik pada otak.
2. Emboli
arteri, mempengaruhi jantung dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
sebagai akibat dari penyakit katup, dan/ atau disritmia kronis
3. Dapat
mencegah pembentukan atau migrasi emboli pada pasien endokarditis. Tirah
baring lama, membawa resikonya sendiri tentang terjadinya fenomena
tromboembolic.
4.
Meningkatkan sirkulasi perifer dan aliran balik vena karenanya menurunkan
resiko pembentukan thrombus.
|
Kolaborasi
Berikan
antikoagulan, contoh heparin, warfarin (coumadin)
|
Heparin dapat
digunakan secara profilaksis bila pasien memerlukan tirah baring lama,
mengalami sepsis atau GJK, dan/atau sebelum/sesudah bedah penggantian katup.
Catatan : Heparin
kontraindikasi pada perikarditis dan tamponade jantung. Coumadin adalah obat
pilihan untuk terapi setelah penggantian katup jangka panjang, atau adanya
thrombus perifer.
|
4.Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan
Kriteria Hasil:
mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari hipoksia.
Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
1.
Evaluasi frekuensi
pernafasan dan kedalaman. Contoh adanya dispnea, penggunaan otot bantu nafas,
pelebaran nasal.
1.
Lihat kulit dan
membran mukosa untuk adanya sianosis.
1.
Tinggikan
kepala tempat tidur letakkan pada posisi duduk tinggi atau semifowler.
|
1.
Kecepatan dan upaya
mungkin meningkat karena nyeri, takut, demam, penurunan volume sirkulasi,
hipoksia atau diatensi gaster.
2.
Sianosis bibir,
kuku, atau daun telinga menunjukkan kondisi hipoksia atau komplikasi paru
3.
Merangsang fungsi
pernafasan/ekspansi paru. Efektif pada pencegahan dan perbaikan kongesti
paru.
|
Kolaborasi:
Berikan tambahan
oksigen dengan kanul atau masker, sesuai indikasi
|
Meningkatkan
pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada adanya
gangguan ventilasi
|
5. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan
curah jantung
Kriteria hasil:
menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang pembatasan
terapeutik yang diperlukan.
Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Kaji respon pasien
terhadap aktivitas. Perhatikan adanya dan perubahan dalam keluhan kelemahan,
keletihan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas
1.
Pantau frekuensi dan
irama jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah
aktivitas dan selam di perluka
2.
Mempertahankan tirah
baring selama periode demam dan sesuai indikasi.
1.
Membantu klien dalam
latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur,
mencatat respon tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas
2.
Evaluasi respon
emosional
|
1.
Miokarditis
menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan sel-sel miokardial, sebagai
akibat GJK. Penurunan pengisian dan curah jantung dapat menyebabkan
pengumpulan cairan dalam kantung perikardial bila ada perikarditis. Akhirnya
endikarditis dapat terjadi dengan disfungsi katup, secara negatif
mempengaruhi curah jantung
2.
Membantu derajad
dekompensasi jantung and pulmonal penurunan TD, takikardia, disritmia,
takipnea adalah indikasi intoleransi jantung terhadap aktivitas.
3.
Demam meningkatkan
kebutuhan dan konsumsi oksigen, karenanya meningkatkan beban kerja jantung,
dan menurunkan toleransi aktivitas
4.
Pada saat terjadi
inflamasi klien mungkin dapat melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali
kerusakan miokard permanen.
5.
Ansietas akan
terjadi karena proses inflamasi dan nyeri yang di timbulkan. Dikungan
diperlukan untuk mengatasi frustasi terhadap hospitalisasi.
|
Kolaborasi
Berikan oksigen
suplemen
|
Peningkatan
ketersediaan oksigen mengimbangi peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi
dengan aktivitas.
|
6.
Kurang pengetahuan
kondisi penyakit
Kriteria hasil :
menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan dan
kemungkinan komplikasi.
Intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Jelaskan efek
inflamasi pada jantung, ajarkan untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya
dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan misalny
demam, nyeri, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap
aktifitas.
2.
Anjurkan
pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat: kebutuhan
diet/pertimbangan khusus: aktivitas yang diizinkan/dibatasi
1.
Kaji ulang perlunya
antibiotic jangka panjang/terapi antimikrobial
1.
Tekankan pentingnya
evaluasi perawatan medis teratur. Anjurkan pasien membuat perjanjian.
|
1.
Untuk bertanggung jawab
terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus,
pengobatan, dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi,
sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukkan kekambuhan/komplikasi
1.
Untuk bertanggung
jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus,
pengobatan, dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi,
sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukkan kekambuhan/komplikasi
2.
Perawatan di rumah
sakit lama/pemberian antibiotic IV/antimicrobial perlu sampai kultur darah
negative/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.
3.
Pemahaman
alasan untuk pengawasan medis dan rencana untuk/penerimaan tanggung
jawab
|
3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf
keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk
memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah
:
Nyeri hilang atau terkontrol
Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Suplai oksigen adekuat.
Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis
Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
arpenito ( 2000),Diagnosa
Keperawatan-Aplikasi pada Praktek Klinis,Ed.6,EGC, Jakarta
Doenges at al ( 2000 ),Rencana Asuhan Keperawatan,Ed.3,EGC,Jakarta
Price & Wilson (1995),Patofisiologi-Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit,Ed,4,EGC Jakarta
Soeparman & Waspadi(1990),Ilmu Penyakir
Dalam,BP FKUI,Jakarta
Boedi Warsono;Diagnostik dan Pengobatan
Penyakit Jantung: Lektor Madya Fakultas kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya. 1984,hal 93-100.
Elliott M.Antman,Eugene Braunwald;Acute
Myocardial Infarction;Harrison’s Principles of Medicine 15th edition,2005,page
1-17.
Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar
Kardiologi;Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2004,hal 173-181.
Pramonohadi Prabowo;Penyakit Jantung
Koroner,Lab/UPF Ilmu Penyakit Jantung;FK Unair RSUD
dr.Soetomo,Surabaya,1994,hal 33-36.
Prof.dr.H.M.Sjaifoellah Noer,dkk.;Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam
Tidak ada komentar :
Posting Komentar